Kesultanan
Cirebon
Kesultanan
Cirebon adalah sebuah kerajaan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan
16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan
pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara Pulau Jawa yang merupakan
perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan
"jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu
kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan
Jawa maupun kebudayaan Sunda.
1. Asal Mula Kesultanan Cirebon
Orang dibalik mulanya Kesultanan Cirebon
adalah Sunan Gunung Jati yang bernama asli Syarif Hidayatullah. Beliau
lahir pada tahun 1448.
Sebagai
anggota Wali Sanga, Syarif Hidayatullah memusatkan penyebaran agama Islam di
Jawa Barat. Kemudian, beliau membangun masjid di daerah Cirebon.
Di
daerah Cirebon tersebut beliau bertemu dengan Pangeran Cakrabuana, seorang
penguasa Cirebon yang juga merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Pangeran
Cakrabuana berkedudukan di Istana Pakungwati di Cirebon.
Saat
pemerintahan Pakungwati diserahkan kepada Syarif Hidayatullah, beliau
memerintah Pakungwati dan mengembangkan daerah Cirebon menjadi kerajaan dan
melepaskan diri dari Kerajaan Pajajaran.
2. Raja
Raja Kasultanan Cirebon
· Pangeran Cakrabuana (Sultan Cirebon I),
1445-1479
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan
Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istri
keduanya yang bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa, seorang saudagar
kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon).
Ketika kakeknya yang penguasa pesisir
utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya,
melainkan mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon.
Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri Kesultanan Cirebon adalah
Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana.
· Sunan Gunung Jati (Sultan Cirebon II),
1479-1568
Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana kemudian
digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan
Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah yang setelah wafat
dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Ia mendapat gelar Tumenggung Syarif
Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah. Pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulai oleh Syarif
Hidayatullah. Sunan Gunung Jati kemudian bertindak sebagai penyebar agama Islam
di Jawa Barat, termasuk di dalamnya Kesultanan Cirebon dan Kerajaan Banten.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan
tertinggi kerajaan Islam Cirebon.
· Fatahillah
(Sultan Cirebon III), 1568-1570
Kekosongan pemegang kekuasaan itu
kemudian dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah adalah panglima
perang Kerajaan Demak dan juga merupakan menantu dari Sunan Gunung Jati yang
menjabat sebagi bupati di Jayakarta. Fatahillah kemudian naik takhta, dan
memerintah Cirebon secara resmi dan menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah
menduduki takhta Kesultanan Cirebon selama dua tahun karena ia meninggal dunia
pada tahun 1570.
· Panembahan Ratu I (Sultan Cirebon IV),
1570-1649
Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak
ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cicit Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra
tertua Pangeran Dipati Carbon. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu
I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
· Panembahan Ratu II / Panembahan Girilaya
(Sultan Cirebon V), 1649-1677
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia
pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang
bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan
nama gelar almarhum ayahnya yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian
dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya meninggal di Kartasura.
3. Perkembangan Kesultanan Cirebon
Kesultanan
Cirebon mencapai masa kejayaan pada saat Syarif Hidayatullah memerintah. Di
bawah pemerintahan Syarif Hidayatullah, Kerjaan Cirebon memiliki perkembangan
yang sangat pesat. Perkembangan ini juga mempengaruhi perkembangan dan penyebaran Islam. Dengan
dukungan letak yang strategis, pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari
daerah pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah
satu kota dagang dan pelabuhan ekspor impor di pesisir utara Jawa baik dalam
kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian
dunia lainnya. Perkembangan Pelabuhan Cirebon yang semakin ramai pun
menghasilkan untung bagi dareah pedalaman. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi
cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Hubungan baik Cirebon
dengan Kerajaan Demak dan Malaka juga mengalami peningkatan.
Pada
masa pemerintahan Syarif Hidayatullah, tepatnya tahun 1480, beliau membangun
Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Selesai membangun masjid, beliau juga membangun
jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten
lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan.
4. Sumber Sejarah Kesultanan Cirebon
· Babad Cirebon, yaitu Karya sastra
sejarah yang ditulis pada abad ke-19 di Cirebon. Babad Cirebon menceritakan
tentang perkembangan Kesultanan Cirebon pada awal waktu penjajahan Belanda di
Pulau Jawa. Sebagian besar isi dari babad ini menceritakan tentang Sunan Gunung
Jati selaku penyebar agama Islam di Jawa Barat yang juga memberikan kejayaan di
Kesultanan Cirebon. Babad Cirebon ditulis menggunakan huruf Arab dan bahasa
Jawa Cirebon.
· Carita Caruban Purwaka Nagari karya
Pangeran Dipati Carbon yang ditulis pada tahun 1702 masehi. Naskah ini terdiri
dari 39 bagian yang menceritakan perkembangan Cirebon, perjalanan hidup para
petinggi kerajaan beserta keluarganya, dan juga menceritakan silsilah keluarga
kerajaan.
· Catatan Tom Pires yang mengujungi
Cirebon pada tahun 1513 yang berjudul Suma Oriental. Pires memberikan informasi
mengenai keadaan ekonomi dan politik di Jawa pada masa paruh pertama abad
ke-16. Ia menyebut lima pelabuhan utama Kerajaan Sunda, adanya pelabuhan di
Cirebon, dan pengaruh Demak terhadap wilayah barat Pulau Jawa.
5. Runtuhnya Kesultanan Cirebon
Keruntuhan
Kesultanan Cirebon dimulai ketika kesultanan ini dibagi menjadi dua kekuasaan,
yakni kesultanan Kasepuhan dan kesultanan Kanoman. Perselisihan antara kedua
kesultanan dan adanya campur tangan politik VOC Belanda yang saat itu menduduki
Indonesia membuat Cirebon runtuh secara perlahan.
Tahun
1700, kesultanan menjadi empat kekusaan. Selain Kasepuhan dan Kanoman, terdapat
juga kesultanan Kacirebonan di bawah Pangeran Arya Cirebon, dan Kaprabonan
(Panembahan) di bawah Pangeran Wangsakerta. Sejak itu perdagangan internasional
melalui pelabuhan Cirebon sudah berada di tangan VOC.
Sejak awal abad ke-18, Kesultanan
Cirebon, baik di bidang politik maupun ekonomi-perdagangan, mengalami
kemunduran karena dikendalikan VOC yang berlanjut hingga pemerintahan kolonial
Hindia-Belanda sejak abad ke-19 dan masa pendudukan Jepang tahun 1942, di mana
sultan-sultan mendapat gaji dari pemerintah kolonial pada masanya.
6. Cirebon Sekarang
Setelah
Indonesia merdeka, Kesultanan Cirebon tidak benar-benar hilang. Tetapi menjadi
bagian dari Indonesia, yakni menjadi
Kota Cirebon dan kabupaten Cirebon.
Saat
ini, Cirebon tidak lagi melaksanakan Kesultanan/ Kerajaannya walau banyak
Keraton/ Masjid yang didirikan pada masa Kesultanan Cirebon. Akan tetapi,
hingga saat ini Keraton/ Masjid tersebut masih digunakan untuk upacara adat.
7. Peninggalan Sejarah
a.
Kesultanan Kasepuhan. Kesultanan ini
adalah satu2nya kesultanan yang masih terawat dengan baik karena masih
dijadikan sebagai objek wisata kebudayaan oleh warga sekitar maupun wisatawan.
b.
Masjid agung Sang Cipta Rasa. Masjid ini
dibangun pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati atas
inisiatif Putri OngTien.
c.
Kraton Kanoman. Bangunan ini sudah tidak
terawat karena letaknya yang tidak strategis dan apabila ingin berkunjung harus
melewati pasar tradisional sehingga dibutuhkan ‘perjuangan’ tersendiri.
d.
Makam Sunan Gunung Jati. Makam sang
Sunan hanya boleh dimasuki oleh keluarga keraton saja sebagai keturunannya.
Masyarakat umum tidak diperbolehkan memasuki makam Sunan. Hal ini dikarenakan
begitu banyak barang berharga yang harus dijaga sebagai warisan budaya seperti
guci-guci, keramik yang menurut sejarah dibawa oleh istri Sunan Gunung Djati
yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tien. Terdapat 9 pintu/gapura menuju makam
Sunan Gunung Jati, namun pengunjung hanya boleh masuk hingga batas serambi muka
pintu pertama saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar