Minggu, 14 Desember 2014

Sejarah Kesultanan Cirebon

Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kerajaan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara Pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

1.     Asal Mula Kesultanan Cirebon
      Orang dibalik mulanya Kesultanan Cirebon adalah Sunan Gunung Jati yang bernama asli Syarif Hidayatullah. Beliau lahir  pada tahun 1448.
Sebagai anggota Wali Sanga, Syarif Hidayatullah memusatkan penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Kemudian, beliau membangun masjid di daerah Cirebon.
Di daerah Cirebon tersebut beliau bertemu dengan Pangeran Cakrabuana, seorang penguasa Cirebon yang juga merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Pangeran Cakrabuana berkedudukan di Istana Pakungwati di Cirebon.
Saat pemerintahan Pakungwati diserahkan kepada Syarif Hidayatullah, beliau memerintah Pakungwati dan mengembangkan daerah Cirebon menjadi kerajaan dan melepaskan diri dari Kerajaan Pajajaran.

2.    Raja Raja Kasultanan Cirebon
·      Pangeran Cakrabuana (Sultan Cirebon I), 1445-1479
      Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istri keduanya yang bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng Tapa, seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon).
      Ketika kakeknya yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal, Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan mendirikan istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana.       
                           
·      Sunan Gunung Jati (Sultan Cirebon II), 1479-1568
      Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Ia mendapat gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah. Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulai oleh Syarif Hidayatullah. Sunan Gunung Jati kemudian bertindak sebagai penyebar agama Islam di Jawa Barat, termasuk di dalamnya Kesultanan Cirebon dan Kerajaan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon.
·      Fatahillah (Sultan Cirebon III), 1568-1570
      Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah adalah panglima perang Kerajaan Demak dan juga merupakan menantu dari Sunan Gunung Jati yang menjabat sebagi bupati di Jayakarta. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi dan menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta Kesultanan Cirebon selama dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570.
·      Panembahan Ratu I (Sultan Cirebon IV), 1570-1649
      Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cicit  Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua Pangeran Dipati Carbon. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
·      Panembahan Ratu II / Panembahan Girilaya (Sultan Cirebon V), 1649-1677
      Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar almarhum ayahnya yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II. Panembahan Girilaya meninggal di Kartasura.

3.    Perkembangan Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon mencapai masa kejayaan pada saat Syarif Hidayatullah memerintah. Di bawah pemerintahan Syarif Hidayatullah, Kerjaan Cirebon memiliki perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan ini juga mempengaruhi  perkembangan dan penyebaran Islam. Dengan dukungan letak yang strategis, pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari daerah pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu kota dagang dan pelabuhan ekspor impor di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Perkembangan Pelabuhan Cirebon yang semakin ramai pun menghasilkan untung bagi dareah pedalaman. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Hubungan baik Cirebon dengan Kerajaan Demak dan Malaka juga mengalami peningkatan.
Pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah, tepatnya tahun 1480, beliau membangun Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Selesai membangun masjid, beliau juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh Tanah Pasundan.

4.    Sumber Sejarah Kesultanan Cirebon
·        Babad Cirebon, yaitu Karya sastra sejarah yang ditulis pada abad ke-19 di Cirebon. Babad Cirebon menceritakan tentang perkembangan Kesultanan Cirebon pada awal waktu penjajahan Belanda di Pulau Jawa. Sebagian besar isi dari babad ini menceritakan tentang Sunan Gunung Jati selaku penyebar agama Islam di Jawa Barat yang juga memberikan kejayaan di Kesultanan Cirebon. Babad Cirebon ditulis menggunakan huruf Arab dan bahasa Jawa Cirebon.
·        Carita Caruban Purwaka Nagari karya Pangeran Dipati Carbon yang ditulis pada tahun 1702 masehi. Naskah ini terdiri dari 39 bagian yang menceritakan perkembangan Cirebon, perjalanan hidup para petinggi kerajaan beserta keluarganya, dan juga menceritakan silsilah keluarga kerajaan.
·        Catatan Tom Pires yang mengujungi Cirebon pada tahun 1513 yang berjudul Suma Oriental. Pires memberikan informasi mengenai keadaan ekonomi dan politik di Jawa pada masa paruh pertama abad ke-16. Ia menyebut lima pelabuhan utama Kerajaan Sunda, adanya pelabuhan di Cirebon, dan pengaruh Demak terhadap wilayah barat Pulau Jawa. 

5.    Runtuhnya Kesultanan Cirebon
Keruntuhan Kesultanan Cirebon dimulai ketika kesultanan ini dibagi menjadi dua kekuasaan, yakni kesultanan Kasepuhan dan kesultanan Kanoman. Perselisihan antara kedua kesultanan dan adanya campur tangan politik VOC Belanda yang saat itu menduduki Indonesia membuat Cirebon runtuh secara perlahan.
Tahun 1700, kesultanan menjadi empat kekusaan. Selain Kasepuhan dan Kanoman, terdapat juga kesultanan Kacirebonan di bawah Pangeran Arya Cirebon, dan Kaprabonan (Panembahan) di bawah Pangeran Wangsakerta. Sejak itu perdagangan internasional melalui pelabuhan Cirebon sudah berada di tangan VOC.
      Sejak awal abad ke-18, Kesultanan Cirebon, baik di bidang politik maupun ekonomi-perdagangan, mengalami kemunduran karena dikendalikan VOC yang berlanjut hingga pemerintahan kolonial Hindia-Belanda sejak abad ke-19 dan masa pendudukan Jepang tahun 1942, di mana sultan-sultan mendapat gaji dari pemerintah kolonial pada masanya.

6.    Cirebon Sekarang
Setelah Indonesia merdeka, Kesultanan Cirebon tidak benar-benar hilang. Tetapi menjadi bagian dari Indonesia, yakni menjadi         Kota Cirebon dan kabupaten Cirebon.
Saat ini, Cirebon tidak lagi melaksanakan Kesultanan/ Kerajaannya walau banyak Keraton/ Masjid yang didirikan pada masa Kesultanan Cirebon. Akan tetapi, hingga saat ini Keraton/ Masjid tersebut masih digunakan untuk upacara adat.

7.    Peninggalan Sejarah
a.       Kesultanan Kasepuhan. Kesultanan ini adalah satu2nya kesultanan yang masih terawat dengan baik karena masih dijadikan sebagai objek wisata kebudayaan oleh warga sekitar maupun wisatawan.
b.      Masjid agung Sang Cipta Rasa. Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati atas inisiatif Putri OngTien.
c.       Kraton Kanoman. Bangunan ini sudah tidak terawat karena letaknya yang tidak strategis dan apabila ingin berkunjung harus melewati pasar tradisional sehingga dibutuhkan ‘perjuangan’ tersendiri.
d.      Makam Sunan Gunung Jati. Makam sang Sunan hanya boleh dimasuki oleh keluarga keraton saja sebagai keturunannya. Masyarakat umum tidak diperbolehkan memasuki makam Sunan. Hal ini dikarenakan begitu banyak barang berharga yang harus dijaga sebagai warisan budaya seperti guci-guci, keramik yang menurut sejarah dibawa oleh istri Sunan Gunung Djati yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tien. Terdapat 9 pintu/gapura menuju makam Sunan Gunung Jati, namun pengunjung hanya boleh masuk hingga batas serambi muka pintu pertama saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar